Kamu
masih perawan? Pertanyaan yang kebanyakan ditanyakan setiap lelaki kepada
pasangannya. Kebanyakan lelaki memang menginginkannya. Egois bukan? Di budaya
Timur keperawanan sangat dijunjung tinggi, ibarat mahkota yang tak boleh
dilepas begitu saja. Tapi untuk mencari perawan di kota besar seperti Jakarta
sangatlah sulit. Pergaulan merajalela, muda-mudi banyak yang bersenggama, baik
dari Mahasiswa, SMA, SMP, bahkan SD sekalipun ada yang sudah melakukannya. Semuanya
jelas melanggar norma. Budaya kita jelas kalah oleh budaya mereka di Barat
sana, kebebasan dalam bergaul jelas itu dari sana, kebudayaan Timur yang
menjunjung norma terkikis dengan mudahnya.
Tapi
egois apabila lelaki menuntut keperawanan dari para wanita, lelaki dengan
bebasnya menutut keperawanan. Lelaki dengan seenaknya melepaskan keperjakaan
mereka di mana dan kapan saja, tanpa mengenal norma, dan bebas menikahi wanita
mana saja, entah perawan ataupun tidak. Bahkan mereka percaya akan beberapa
mitos tentang tentang mencari tahu keperawanan wanita. Mulai dari melihat cara
mereka berjalan, melihat dari badannya, maupun dari darah yang keluar ketika
malam pertama. Percayakah? Kalu saya tidak.
Kasihan
mereka yang keperawanannya direnggut dengan paksa, kasihan mereka yang masa
lalunya terbuai oleh cinta yang berlandaskan nafsu belaka, dan kasihan mereka
yang sudah diucapkan janji cinta dan dibuang begitu saja. Jadi apa yang anda
lakukan ketika pasangan yang anda cinta sudah direnggut mahkotanya? Akhiri atau
lanjutkan?
Kebanyakan
lelaki Indonesia yang kebanyakan menganut budaya timur pasti merasakan dilema. Biarpun
kebanyakan dari mereka banyak yang sudah melepaskan cairan kenikmatan ke
beberapa wanita, entah itu mantannya atau wanita penggoda. Tapi jelas, mereka
menuntut keperawanan wanita yang akan dinikahinya, terlalu banyak alasannya.
Tapi
sebenarnya cinta dan keyakinan lebih kuat daripada tuntutan mendapatkan yang “pertama”.
Cinta dan keyakinan mampu mengalahkan ego, beda halnya dengan nafsu yang selalu
menuntut. Cinta mampu merubah keraguan, mampu menerima segala kekurangan, tidak
menuntut, dan memberi segenap rasa. Ya seperti itulah kiranya.