Boom!
Seperti bunyi bom yang mengagetkan semua orang, begitu pula dengan beberapa
keputusan reshuffle yang dilakukan RI
1. Terutama pergantian Kemendikbud, dari one and only Anies Baswedan, menjadi
Muhajir Effendi. Banyak yang bertanya-tanya, kebanyakan dengan kata tanya
“kenapa?”. Banyak opini yang beredar, tapi bukan itu yang akan saya bahas kali
ini. Lanjut, seusai pergantian, terdengar lagi bunyi ledakan. Boom! Kali ini
bunyi bom kembali mengagetkan khalayak.
Bapak Muhajir Effendi, Rektor UMM (Universitas Muhammadiyah Malang),
yang kini menjabat sebagai Kemendikbud baru, menciptakan suatu terobosan.
Berbeda dengan Anies Baswedan, yang melakukan kebijakan-kebijakan sederhana
(tapi mengena), seperti menghilangkan perpeloncoan di MOS yang dari tahun ke
tahun sudah mendarah daging di beberapa sekolah, serta menganjurkan orang tua
untuk mengantar anaknya di hari pertama sekolahnya. Bapak Menteri yang baru, Muhajir langsung melempar wacana yang menimbulkan Pro dan Kontra
(kebanyakan kontra) di masyarakat. Full
Day School katanya, yaitu sistem yang mengharuskan anak untuk tetap di
sekolah dari pagi hingga sore, jadi sedari pagi hingga senja anak-anak beraktivitas
di sekolah, yang bertujuan agar si anak bisa lebih mudah dikontrol, katanya.
Tapi
apa dengan Full Day School semua
masalah bisa teratasi? Sebenarnya Full
Day School sudah dilakukan di beberapa Negara, kebanyakan adalah negara
maju. Singapura, China, Korsel, Inggris, Taiwan, Jepang dan bahkan Amerika
menerapkannya. Tapi kenapa ketika Indonesia melemparkan wacana ini banyak
pertentangan? Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, meski tujuan Pak
Menteri baik, yaitu ingin merubah karakter bangsa, menghilangkan tawuran,
mengindarkan hal-hal negatif terhadap siswa, serta yang paling penting adalah
menyamakan jam pulang antara orang tua dan anaknya (jangan diketawain). Tapi,
semua kembali lagi terhadap kesiapan sekolah-sekolah di Indonesia sendiri.
Sejauh ini sudah merata kah pendidikan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak,
coba tengok sekolah-sekolah di daerah, lihat bagaimana kondisinya. Tapi,
sebelum melihat sekolah-sekolah di pedalaman, cukup lihat dampaknya apabila
peraturan ini diterapkan di Jakarta. Kalian tahukan Jakarta macetnya seperti
apa? Nah sekarang bayangkan apabila jam pulang kantor dan jam pulang sekolah
berada di waktu yang sama. Boom! Tahukan akibatnya?
Lain
di kota, lain lagi di daerah. Bukan berarti di daerah tak ada masalah apabila
menerapkan Full Day School, justru
menurut saya (yang teramat sangat) awam ini akan lebih banyak masalah lagi jika
peraturan ini diterapkan. Pertama adalah tentang kesiapan guru, banyak sekolah-sekolah
di daerah yang kekurangan guru, bahkan menurut teman saya yang merupakan
Pengajar Muda dari Indonesia mengajar. Ketika ia ditempatkan di salah satu
daerah di Kalimantan, ia pernah mengajar 4 kelas sekaligus dalam satu waktu.
Terus hubungannya dengan Full Day School?
Ya coba bayangin deh gimana caranya sekolah-sekolah yang masih kekurangan
tenaga pengajar apabila menerapkan program Full
Day School. Bisa kelimpungan guru-gurunya. Itu baru dari segi pengajar,
belum lagi dari aspek murid. Beuh. Mulai dari jarak rumah ke sekolah yang bisa
berkilo-kilo meter, kebiasaan anak yang membantu orang tuanya di kebun seusai
sekolah dan beribu-ribu (cie ribu) alasan lainnya.
Dan
untuk itu, harapan saya di sini adalah agar Pak Menteri jangan hanya melihat
dari satu sisi, ada banyak sisi yang mesti dijamah, diperhatikan dan digarap.
Saya setuju jika program ini diterapkan, asalkan Pendidikan di Indonesia sudah
merata, dari Sabang sampai Merauke. Tak ada kesenjangan, melainkan harmoni.
Saran saya selaku mantan Mahasiswa yang lulusnya agak lama, ketimbang
menerapkan Full Day School mending
Pak Menteri fokus di resonansi deh,
kalau itu saya setuju. Karena bagi saya, guru merupakan aspek penting dalam dunia
pendidikan, semakin guru dimanusiakan, semakin bagus pula kualitasnya, semakin
bagus kualitas guru, maka akan semakin ciamik pola pengajarannya, dan semakin
ciamik pola pengajarannya, semakin canggihlah anak-anak nantinya.