Rabu, 28 Desember 2016

Bersatoe

Beberapa bulan ini Indonesia riuh, berbagai macam isu hadir silih berganti. Lebih-lebih mendekati Pilkada DKI, berbagai macam isu dihembuskan dengan begitu derasnya. Isu Agama, Politik, Ideologi, Teroris, hingga yang terkini ‘Om Telolet Om.’ Untuk isu yang terakhir kita bisa mengambil sedikit pelajaran, Negeri ini butuh hiburan. Setiap hari pasti ada saja yang menyebarkan berbagai macam informasi di sosial media, baik valid ataupun sebaliknya (meski lebih banyak info yang tidak valid). Hal ini bukan kabar baik tentunya, karena kebanyakan info yang tidak valid tersebut kebanyakan mengandung unsur perpecahan.
Ada sistem yang tidak ingin Negara kita bersatu dan menjadi besar. Terlebih negara-negara penanam modal di Indonesia, para kapitalis penikmat Sumber Daya Alam. Negara-negara tersebut ingin memecah belah Indonesia dengan berbagai macam isu yang penulis sebutkan di atas. Sekarang masif sekali penolakan-penolakan terhadap dua paham yang pergerakannya tak terlalu terlihat di Indonesia, Komunisme dan Syiah. Ketakutan diciptakan sedemikian rupa. Pemerintahan dianggap condong ke Komunis, bahkan ada sebagian ulama besar yang  diklaim sebagai Syiah. Padahal sebenarnya ada banyak isu yang jauh lebih penting ketimbang isu-isu tersebut. Pendidikan dan Ekonomi contohnya, karena menurut penulis kedua isu tersebut merupakan pondasi kemajuan, karena lewat kedua hal itu Indonesia bisa melangkah lebih jauh.

Ketika Negara lain lebih concern di bidang Ekonomi dan Pendidikan, kita masih sibuk berkubang di Informasi-informasi yang tak jelas juntrungannya. Padahal jika kita belajar dari Sejarah, setiap bangsa yang mencoba besar, pasti akan mendapatkan perlawan dari Negara-negara Kapitalis. Sekarang giliran kita, karena apabila bangsa kita bersatu, hilang sudah pemasukan mereka dari Sumber Daya Alam kita. Untuk itu penulis mengajak, ayo bergerak. Minimal lebih skeptis lagi dalam membaca berbagai macam informasi yang beredar di dunia maya, terutama informasi yang lebih condong memecah belah ketimbang mencanangkan persatuan. 

Minggu, 25 Desember 2016

Masyarakat Kotak


      Semakin lama hidup, semakin saya melihat berbagai macam perbedaan bahkan semakin kontras, baik antar agama, maupun antar sesama agama, baik melalui nalar, ataupun paksaan dari media-media yang disajikan. Bahkan semenjak saya duduk di bangku sekolah menengah ke atas, saya sudah disajikan berbagai macam perbedaan, ketika itu saya sudah mengenal beberapa kata-kata asing yang saya tidak tahu apa makna sebenarnya. Mulai dari Liberal, Sekuler, Wahabi, Syiah, dan kata-kata serapan lainnya. Lebih lagi setelah saya menyelami dunia perkuliahan, semakin banyak istilah-istilah asing yang diperkenalkan, baik oleh dosen ataupun buku-buku yang saya baca.
            Berbagai ideologi, tarekat, sekte kepercayaan masuk ke dalam otak. Lebih-lebih semenjak semaraknya sosial media, antara satu aliran dan aliran lainnya saling hantam, entah itu dengan saling menggiring opini sampai kebohongan-kebohongan yang diwajarkan. Wahabi menyerang Syiah, Kapitalis menyudutkan Komunis, pun sebaliknya. Setiap gerakan-gerakan kecil bisa menjadi senjata, setiap kesalahan kecil bisa langsung timbul penyerangan. Terkotak-kotakan oleh sekat-sekat yang tidak terlihat namun terlihat. Memang sejatinya perbedaan itu rahmat namun kita harus bijak menyikapi segala macam perbedaan.

Selain itu terbukanya informasi cukup berpengaruh besar dalam meregangkan berbagai macam perbedaan. Jika kalian membuka beranda facebook, apa yang kalian saksikan? Antara golongan satu dan golongan lainnya menyebarkan berbagai macam informasi tentang kebencian-kebencian, lebih lagi mereka tidak tahu dampak dari apa yang mereka sebarkan, dan mereka pun malas mencari tahu tentang kebenaran dari informasi yang mereka sebarkan. Padahal semakin sering menebar kebencian, semakin renggang antara satu dan lainnya, semakin ‘kotak’ masyarakat dibuatnya. Semakin ‘kotak’ Masyarakat, semakin mudah untuk dicerai-beraikan. Setelah itu? Entah, tunggu 1 atau 2 tahun kemudian, waktu yang akan menjawab pertanyaan.

Selasa, 13 Desember 2016

Janganlah Dibaca

Sudah berhari-hari hati acap kali memberi intruksi untuk jari-jemari. Namun sayang, otak kerap kali menghalangi, jari-jemari dibuatnya berdiam diri. Padahal sebenarnya ingin juga ia menari di atas kumpulan huruf yang oleh orang masa kini disebutnya “keyboard.” Pun sekarang, otak masih menghalangi, penat katanya. Tapi apa daya, hasrat untuk menulis sudah kepalang tinggi, kini kuputuskan untuk menulis, namun entah apa yang mesti ditulis. Jika harus menuruti instruksi hati jelas saja, setiap inci tentang kecantikanmu akan aku lukis lewat kata-kata. Tapi seperti yang aku bilang tadi, otak masih kekeuh berpendirian. Jadi, dengan amat sangat terpaksa kurangkailah kata-kata ini, entah bermuara ke mana, aku tiada peduli. Dibaca atau tidakpun aku tiada peduli, yang terpenting jari-jemari ini bisa melantai di atas huruf-huruf yang tiada terangkai.
Malam ini aku ingin bercerita, tentang hari-hari yang sedang riuh dibicarakan oleh khalayak. Ada calon pemimpin yang diadili lantaran kata-katanya menyakiti hati pribumi. Aku tidak terlalu memikirkannya, akan tetapi, berbicara tentang pengadilan, aku jadi mengingat tentang kawanku serta istri dan mertuanya. Mink, Annelies, dan Nyai Ontosoroh. Berbeda dengan calon pemimpin, Mink diadili lantaran ia pribumi. Dahulu Pribumi, biarpun banyak ia, namun tak punya kuasa. Namun di masa kini, Pribumi selain banyak, berkuasa juga ia, Paradoks. Entah, saya harus bergembira ataupun sebaliknya. 

Tapi bukan itu intinya, inti dari semuanya adalah jari-jemari ini terus bergerak, hanya sesekali otak menginterupsi, dengan paragraf di atas contohnya. Padahal tak ingin jari-jemari menyentuh lantai yang bernama politik, tapi apa daya, otak punya kuasa lebih tinggi. Lalu mau sampai mana lagi? Tak usahlah sampai berlembar-lembar, cukup satu lembar tulisan yang entah ke mana tujuannya. Tak perlu pula ada ribuan kata yang tak jelas maknanya, cukup satu lembar untuk jari-jemari bernostalgia dengan kata. Lagi pula ini baru awal, otak hanya terlibat sedikit, itu juga lewat interupsi, akan tetapi di hari-hari lainnya, jari-jemari ini akan bersinerji, tak hanya dengan otak, melainkan juga hati. Cerita tentang segalamu akan juga dimulai, tentang perjumpaan, tentang seribu kagum, tentang senja kita yang saling bercumbu dengan rindu. Ah Klise!

Senin, 15 Agustus 2016

BOOM!-endikbud.

Boom! Seperti bunyi bom yang mengagetkan semua orang, begitu pula dengan beberapa keputusan reshuffle yang dilakukan RI 1. Terutama pergantian Kemendikbud, dari one and only Anies Baswedan, menjadi Muhajir Effendi. Banyak yang bertanya-tanya, kebanyakan dengan kata tanya “kenapa?”. Banyak opini yang beredar, tapi bukan itu yang akan saya bahas kali ini. Lanjut, seusai pergantian, terdengar lagi bunyi ledakan. Boom! Kali ini bunyi bom kembali mengagetkan khalayak.  Bapak Muhajir Effendi, Rektor UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), yang kini menjabat sebagai Kemendikbud baru, menciptakan suatu terobosan. Berbeda dengan Anies Baswedan, yang melakukan kebijakan-kebijakan sederhana (tapi mengena), seperti menghilangkan perpeloncoan di MOS yang dari tahun ke tahun sudah mendarah daging di beberapa sekolah, serta menganjurkan orang tua untuk mengantar anaknya di hari pertama sekolahnya. Bapak Menteri yang baru, Muhajir langsung melempar wacana yang menimbulkan Pro dan Kontra (kebanyakan kontra) di masyarakat. Full Day School katanya, yaitu sistem yang mengharuskan anak untuk tetap di sekolah dari pagi hingga sore, jadi sedari pagi hingga senja anak-anak beraktivitas di sekolah, yang bertujuan agar si anak bisa lebih mudah dikontrol, katanya.
Tapi apa dengan Full Day School semua masalah bisa teratasi? Sebenarnya Full Day School sudah dilakukan di beberapa Negara, kebanyakan adalah negara maju. Singapura, China, Korsel, Inggris, Taiwan, Jepang dan bahkan Amerika menerapkannya. Tapi kenapa ketika Indonesia melemparkan wacana ini banyak pertentangan? Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, meski tujuan Pak Menteri baik, yaitu ingin merubah karakter bangsa, menghilangkan tawuran, mengindarkan hal-hal negatif terhadap siswa, serta yang paling penting adalah menyamakan jam pulang antara orang tua dan anaknya (jangan diketawain). Tapi, semua kembali lagi terhadap kesiapan sekolah-sekolah di Indonesia sendiri. Sejauh ini sudah merata kah pendidikan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak, coba tengok sekolah-sekolah di daerah, lihat bagaimana kondisinya. Tapi, sebelum melihat sekolah-sekolah di pedalaman, cukup lihat dampaknya apabila peraturan ini diterapkan di Jakarta. Kalian tahukan Jakarta macetnya seperti apa? Nah sekarang bayangkan apabila jam pulang kantor dan jam pulang sekolah berada di waktu yang sama. Boom! Tahukan akibatnya?
Lain di kota, lain lagi di daerah. Bukan berarti di daerah tak ada masalah apabila menerapkan Full Day School, justru menurut saya (yang teramat sangat) awam ini akan lebih banyak masalah lagi jika peraturan ini diterapkan. Pertama adalah tentang kesiapan guru, banyak sekolah-sekolah di daerah yang kekurangan guru, bahkan menurut teman saya yang merupakan Pengajar Muda dari Indonesia mengajar. Ketika ia ditempatkan di salah satu daerah di Kalimantan, ia pernah mengajar 4 kelas sekaligus dalam satu waktu. Terus hubungannya dengan Full Day School? Ya coba bayangin deh gimana caranya sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar apabila menerapkan program Full Day School. Bisa kelimpungan guru-gurunya. Itu baru dari segi pengajar, belum lagi dari aspek murid. Beuh. Mulai dari jarak rumah ke sekolah yang bisa berkilo-kilo meter, kebiasaan anak yang membantu orang tuanya di kebun seusai sekolah dan beribu-ribu (cie ribu) alasan lainnya.

Dan untuk itu, harapan saya di sini adalah agar Pak Menteri jangan hanya melihat dari satu sisi, ada banyak sisi yang mesti dijamah, diperhatikan dan digarap. Saya setuju jika program ini diterapkan, asalkan Pendidikan di Indonesia sudah merata, dari Sabang sampai Merauke. Tak ada kesenjangan, melainkan harmoni. Saran saya selaku mantan Mahasiswa yang lulusnya agak lama, ketimbang menerapkan Full Day School mending Pak Menteri fokus di resonansi deh, kalau itu saya setuju. Karena bagi saya, guru merupakan aspek penting dalam dunia pendidikan, semakin guru dimanusiakan, semakin bagus pula kualitasnya, semakin bagus kualitas guru, maka akan semakin ciamik pola pengajarannya, dan semakin ciamik pola pengajarannya, semakin canggihlah anak-anak nantinya. 

Senin, 25 Juli 2016

M(impi)an

Berbicara tentang impian, semua orang pasti punya. Mulai dari ngebahagiain orang tua, punya rumah sendiri, keliling dunia dan lain sebagainya. Kalau misalkan ditanya gue punya impian apa nggak, ya jelas, gue punya. Nggak cuma satu malah, ada beberapa sih. Diantaranya ya mau nerusin S2 di luar Indonesia, kalau nggak Kanada ya Aussie, dan tentunya gue ambil jurusan tentang Pendidikan. Intinya sih nggak mau jauh-jauh lah dari tema pendidikan, soalnya menurut gue pendidikan merupakan pondasi dari Negara. Dan salah satu cita-cita gue ya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, bukan hanya di perkotaan yang segala fasilitasnya udah semabrek-ambrek tapi juga pelosok yang kadang nggak terjamah.
Ya kalau nggak kesampean ya ada Plan B. Lanjutin kuliahnya buka di luar, tapi di dalem Negeri. Lagi pula nggak beda jauh lah, yang penting kan ikhtiar menuntut ilmunya. Dan juga, kuliah di dalam Negeri punya beberapa kelebihan dibanding kuliah di luar (Aussie & Kanada). Diantaranya; bisa kuliah sambil ngaji, pagi kuliah, malemnya ngaji. Cakep nggak? Atas-bawah dapet. Bukan berarti di luar nggak bisa ngaji, tapi seenggaknya kalau kuliah di dalam Negeri nggak perlu repot-repot cari guru yang sesuai hati, ngamprah tinggal pilih, mau belajar ilmu apa.

Kalau yang ini nggak kesampean juga ya ada Plan lainnya. Usaha! Harus punya usaha yang menghasilkan, jual apa kek gitu. Biar nggak terlalu ngandelin orang, syukur-syukur bisa punya karyawan sendiri. Nah, kalau udah punya usaha mau coba apply jadi guru. Mau maksimalin gelar S1 yang udah ngos-ngosan didapetin. Jadi kan kalau misalkan nanti ngajar, nggak terlalu ngandelin gaji, gitu. Itu sih beberapa impian gue kedepan, nggak usah muluk-muluk mesti jadi orang kaya. Yang penting bisa bermanfaat buat sekitar, syukur-syukur se-Indonesia. Ya buat kalian-kalian yang baca tulisan ini, gue sih minta doanya aja, mudah-mudahan salah satu dari Plan gue diatas bisa terlaksana. Karena kan kita tau, usaha tanpa doa sombong, doa tanpa usaha ya sama aja bodong heu heu heu. 

Minggu, 03 Juli 2016

Tulisan Anak-anak

Selamat malam, akhirnya nge-blog lagi kan, pada kangen pasti. Tuhkan sampai lupa kapan terakhir kali ngurusin blog yang udah bedebu, kaya hati. Eh iya, gue mau nanya dong, kira-kira apa yang ada di pikiran kalian kalau misalkan denger kata “anak-anak”? Kalau menurut kaca mata gue (meskipun gue nggak pake kaca mata) anak-anak merupakan manifestasi dari hal positif, seperti bahagia, ceria, penuh cerita dan canda tawa. Kenapa positif? Hal itu karena gue yakin, mayoritas orang dewasa kalau dikasih kesempatan untuk balik ke dunia anak-anak pasti pada ngangguk, iya kan? Tapi pada kenyataannya, nggak semua anak-anak bisa ngerasain yang namanya bahagia dan lain sebagainya. Karena sebenarnya masih banyak anak-anak yang masih jauh dari kata bahagia. Bahkan ada anak yang sedari kecil dipaksa untuk merasakan kerasnya dunia kerja, padahal belum saatnya mereka berkenalan dengan dunia milik orang dewasa.
Kebanyakan dari kita menafikan keberadaan dan keadaan mereka. Coba deh, sesekali kita perhatikan anak-anak di sekeliling kita, nggak usah jauh-jauh ke pelosok pedalaman di Indonesia, cukup keluar dan lihat anak-anak yang berjejer di pinggiran Kota Jakarta. Apakah mereka bahagia? Apakah mereka layak mendapatkan segala yang mereka terima? Dan pertanyaan-pertanyaan baru pun akan banyak bermunculan. Siapa yang salah? Mereka yang terlahir miskin? Pemerintah yang tak perhatian? Atau karena kita tidak peduli dengan keberadaan mereka? Tuhkan, lagi-lagi muncul pertanyaan. Tapi, apakah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut anak-anak tersebut bisa bahagia? Atau mungkin dengan tulisan gue yang ala kadarnya bisa menyelamatkan mereka begitu saja? Jika kalian bertanya kepada gue dengan pertanyaan yang sama, maka akan gue jawab dengan seribu kata tidak.

Akan tetapi dengan tulisan ini gue mengajak agar teman-teman peduli dengan anak-anak yang kurang bahagia. Jika kalian bertanya bagaimana caranya, ya ada banyak cara. Yang termudah adalah dengan senyuman, atau sesekali kalian bisa mengajak mereka bermain, dan lebih baik lagi ajarkan mereka apa arti kebahagiaan, karena dengan begitu mereka merasa diperhatikan, siapa coba yang nggak mau diperhatiin? Karena menurut gue, kebahagiaan buka melulu soal materi, melainkan dengan kebersamaan dan perhatian yang penuh kehangatan. So, kapan mau bergerak?